Bossmoonvape – Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengungkapkan rencananya untuk ‘menyuntik mati’ Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dalam 15 tahun ke depan. Tujuannya adalah untuk beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Meskipun ide ini mendapat dukungan dari para pakar, mereka juga mengingatkan bahwa rencana tersebut perlu di lakukan dengan hati-hati dan tidak terburu-buru. Apa saja yang perlu di pertimbangkan dalam langkah besar ini? Mari kita bahas lebih lanjut.
Dukungan terhadap Rencana Transisi Energi
Prof. Deendarlianto, Guru Besar Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada (UGM). Mendukung kebijakan Prabowo yang bertujuan untuk mengakhiri penggunaan PLTU batu bara. Namun, dia menekankan pentingnya perencanaan yang matang dalam melaksanakan transisi ini. Menurut Prof. Deen, meskipun target 15 tahun itu ambisius. Rencana tersebut harus di buat dengan memperhatikan kebutuhan energi nasional yang terus berkembang.
Prof. Deen juga menilai bahwa energi sangat penting bagi industrialisasi dan kemajuan bangsa. “Energi adalah modal pembangunan nasional. Semakin besar energi yang di terima masyarakat, semakin baik pula indeks pengembangan manusia dan produktivitas industri kita,” ujarnya. Meskipun begitu, dia mengingatkan bahwa penggantian PLTU batu bara dengan energi terbarukan (EBT) harus di lakukan secara hati-hati. Untuk memastikan bahwa pasokan energi tetap tersedia dengan harga yang terjangkau.
Pertimbangan Kritis: Menghindari Terburu-buru
Bagi Prof. Deen, ada beberapa hal yang harus di pertimbangkan sebelum keputusan drastis untuk menghentikan PLTU batu bara di lakukan. Salah satunya adalah memastikan bahwa kebutuhan energi masyarakat sudah terpenuhi, dan bahwa industri tidak akan terganggu oleh kekurangan pasokan energi. Ia juga menyarankan agar transisi ke EBT di lakukan bertahap. Di mulai dengan menggantikan PLTU batu bara yang sudah mencapai batas umur operasionalnya.
“Baca Juga Di Aplikasi BMV Khilafers”
“Kita perlu menghitung dengan cermat demand, supply, dan dampak ekonomi dari transisi ini. Jika kita terlalu terburu-buru mengalihkan energi ke sumber terbarukan tanpa perhitungan yang matang, kita bisa menghadapi masalah. Misalnya, jika pada akhirnya kita harus mengimpor energi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” jelas Prof. Deen. Dia juga menyoroti bahwa biaya energi terbarukan masih lebih tinggi di bandingkan energi fosil, dan dalam beberapa kasus, energy density-nya lebih rendah, yang berpotensi meningkatkan biaya produksi listrik.
Rencana 75 Gigawatt Energi Terbarukan: Tantangan Besar di Depan
Sebelumnya, dalam sesi ketiga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Rio de Janeiro, Brasil, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa Indonesia berencana untuk membangun lebih dari 75 gigawatt kapasitas energi terbarukan dalam 15 tahun ke depan, dengan tujuan menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil, termasuk PLTU batu bara. Rencana ambisius ini di dorong oleh potensi sumber daya energi terbarukan Indonesia yang luar biasa, seperti energi panas bumi.
Namun, langkah besar ini juga menuntut kesiapan infrastruktur dan riset yang matang. Untuk memastikan bahwa transisi ini sukses, pemerintah perlu meningkatkan investasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D), serta memperkuat sektor energi terbarukan di tingkat nasional. Jika tidak, meskipun target besar sudah ditetapkan, tantangan biaya dan ketersediaan teknologi yang tepat bisa menjadi hambatan besar bagi Indonesia untuk mencapai tujuan net zero emission pada tahun 2060.
Rencana Presiden Prabowo untuk menghentikan penggunaan PLTU batu bara dalam 15 tahun adalah langkah besar menuju masa depan yang lebih hijau. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Prof. Deendarlianto, langkah ini membutuhkan perhitungan yang cermat dan persiapan yang matang, agar tidak berdampak negatif pada pasokan energi dan sektor industri. Dengan strategi yang tepat dan implementasi yang hati-hati, Indonesia bisa mencapai tujuannya untuk beralih ke energi terbarukan tanpa mengorbankan kestabilan ekonomi dan sosial.
“Simak Juga: Donald Trump Umumkan Pajak Tambahan untuk China & Meksiko”